Apa Kabar Pramuka Sekarang?
Jakarta - Pramuka dalam kenangan saya adalah soal Emak yang suatu hari membawa pulang satu set seragam yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Baju berwarna coklat muda, celana coklat tua. Ini sungguh berbeda dengan seragam putih biru, yang secara tak resmi dipakai sebagai seragam sekolah di kampung kami.
Saya sebut seragam tak resmi karena pihak sekolah tak pernah menetapkannya sebagai baju seragam. Baju seragam adalah hal mewah di kampung kami dulu. Bisa berbaju saja sudah bagus. Banyak anak yang tak sekolah karena tak punya baju. Sehari-hari mereka tidak pakai baju.
Seragam putih biru tadi adalah baju seragam yang kebetulan dijual Emak. Kami anak-anaknya dibekali dengan satu setel seragam itu. Pada hari-hari penting seperti 17 Agustus, kami memakainya. Hari-hari biasa kami lebih sering pakai baju biasa, seadanya.
Emak saya pedagang pakaian. Ia membeli barang-barang di kota, kemudian menjajakannya keliling kampung. Ketika melihat seragam putih biru, ia membelinya, dan menyuruh kami memakainya. Orang-orang lain melihat, lalu membeli seragam itu. Lalu kami bersama-sama memakai baju itu, khususnya pada hari besar, maka jadilah baju itu sebagai baju seragam.
Seragam coklat tadi dibawa Emak pada saat saya kelas 3 SD. Dia cobakan pada saya. Tak hanya baju, tapi juga ada topi berwarna coklat, yang kemudian saya kenal disebut baret. Juga ada kain segitiga berwarna merah putih, yang dililitkan ke leher.
"Apa ini, Mak?"
"Kata penjualnya baju seragam Pramuka."
"Apa Pramuka tu?"
"Entahlah, Emak tak tahu."
Jawaban soal Pramuka itu datang dari Pak Yat, guru yang baru ditugaskan ke sekolah kami. Dia satu-satunya guru yang ditugaskan oleh pemerintah. Guru-guru kami yang lain adalah guru-guru desa, yang gajinya dibayar oleh orang-orang kampung. Kelak mereka diangkat menjadi pegawai oleh pemerintah.
Pak Yat tidak menjelaskan dengan kata-kata. Ia mengajak kami latihan Pramuka setiap Minggu sore. Apa kegiatannya? Ia mengajarkan banyak macam permainan yang menyenangkan. Juga sejumlah lagu-lagu baru, lagu riang yang bukan lagu wajib.
Sesekali kami diajari berbaris dan upacara. Tapi, itu bukan yang utama yang dia ajarkan. Ia lebih sering mengajarkan permainan, nyanyian, dan keterampilan. Berbekal dengan beberapa batang tongkat bambu dan belahan rotan, banyak benda yang bisa kami buat. Tiang bendera, gapura, tandu, serta kemah. Yang kami sebut kemah adalah pondok kecil beratap dedaunan.
Pak Yat juga sering mengajak kami kerja bakti membersihkan sekolah. Membersihkan kelas sudah biasa kami lakukan melalui piket kelas. Tapi membersihkan lingkungan sekolah baru kami mulai sejak ada Pramuka ini.
Kami juga diajari membuat peta sederhana. Kami diajak pergi menjelajah, melintasi kampung dan kebun kelapa. Setelah itu Pak Yat mengajari kami membuat peta jalan yang kami lalui. Ia juga mengajari kami cara membaca peta yang dia buat.
Pramuka bagi kami waktu itu adalah kegiatan yang sangat menyenangkan. Bagi saya, ini jauh lebih menyenangkan dari sekolah. Maka saya selalu menunggu hari Minggu sore, saat saya bisa ikut latihan Pramuka.
Setelah beberapa lama latihan, Pak Yat memperkenalkan beberapa hafalan, seperti Dasa Darma dan Tri Setya. Tidak perlu penjelsan panjang lebar soal makna hafalan itu. Kami bisa merasakannya dari kegiatan bersama Pak Yat selama ini.
Pramuka bagi saya adalah cara hidup. Dekat dengan alam, menjaga dan merawat alam itu, terampil mengatasi berbagai masalah, menjalin hubungan erat dengan manusia. Itu substansi ajarannya. Saya mendapatkannya dari kegiatan yang diajarkan Pak Yat.
Saya ajarkan itu kepada anak-anak saya. Saya sering membawa mereka ke alam terbuka, berbekal makanan mentah ala kadarnya. Kami menjelajah, mengenali tempat-tempat, berinteraksi dengan penduduknya. Bertemu dengan anak-anak yang belum dikenal sebelumnya, lalu menjalin pertemanan. Sesekali kami menginap di tenda.
Bagaimana dengan Pramuka di sekolah sekarang? Saya yakin tak jauh berbeda dengan yang diajarkan Pak Yat pada saya. Namun apa boleh buat, saya pernah kecewa dengan sekolah anak saya.
Ketika anak saya ikut jambore, ia tak perlu membangun tenda dan memasak. Tenda telah tersedia. Makanan dikirim dari katering. Bahkan sejumlah orangtua murid berjaga di sekitar lokasi perkemahan, siap sedia kalau ada yang perlu ditambah.
Dalam pertemuan dengan orangtua murid sebelum jambore, guru pembimbing menjelaskan bahwa dalam jambore ini akan diadakan berbagai perlombaan. Salah satunya adalah keindahan gapura di depan tenda. Anak-anakkah yang membuat? Bukan. Gapura itu dibuat oleh pemborong yang dibayar oleh sekolah, dengan menarik sumbangan dari murid-murid.
"Nilai apa yang hendak Anda ajarkan pada anak-anak melalui kegiatan macam ini?" tanya saya. Para guru berpandangan satu sama lain. Mungkin mereka tak pernah mengira akan mendapat pertanyaan seperti itu. Atau, mereka menganggap aneh pertanyaan itu.
Dirgahayu Pramuka Indonesia!
Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia